Halaqah 28: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Dalam Agama Islam dan Dalil Rukun Islam

Halaqah 28: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Dalam Agama Islam dan Dalil Rukun Islam
Kemudian beliau mengatakan,

وهو ثلاث مراتب

“Dan Dienul Islam yang khusus yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ ini ada 3 tingkatan,”

الإسلام ،والإيمان ، والإحسان

“Islam, Iman, dan juga Ihsan.”

Yang dimaksud dengan Islam adalah – العمل الظاهرة – amalan-amalan yang dhohir.
Kemudian Iman adalah amalan-amalan yang bathin.
Sedangkan Ihsan adalah puncak dari Iman dan juga Islam.

Orang yang masuk ke dalam agama Islam pertama kali dan dia bersyahadat dan secara dhohir dia melakukan amalan-amalan Islam, tapi kalau belum sampai ke dalam hatinya keimanan, hanya sekedarالإستسلام بالعمل الظاهر , tapi belum sampai keimanan tersebut masuk ke dalam relung hatinya, maka dia masih tingkatannya adalah Islam.

۞ قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُوا۟ وَلَـٰكِن قُولُوۤا۟ أَسۡلَمۡنَا…
[QS Al-Hujurat 14]

“Orang-orang Arab (Badui) mereka mengatakan – ءامنا -padahal mereka baru masuk Islam, tingkat kualitas keislamannya masih dasar, tapi mereka mengatakan – ءامنا – kami beriman.

– قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُوا۟ – kalian belum beriman, maksudnya adalah belum masuk keimanan itu benar-benar ke dalam hati kalian, tapi dhohir kalian sudah istislam (sudah mau bersyahadat, sudah mau melakukan shalat).

– وَلَـٰكِن قُولُوۤا۟ أسلمنا – akan tetapi ucapkanlah yang lebih tepat adalah أسلمنا kami menyerahkan diri.

.. وَلَمَّا یَدۡخُلِ ٱلۡإِیمَـٰنُ فِی قُلُوبِكُمۡۖ

“Dan belum masuk keimanan ini ke dalam hati-hati kalian.”

Maksudnya adalah keimanan yang sempurna. Adapun Iman yang merupakan dasar dan juga pondasi seperti beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul, beriman kepada hari Akhir, dan mereka memiliki kadar yang minimal, maka itu tentunya sudah ada di dalam hati mereka, yaitu rukun Iman yang 6 dan di dalamnya ada kadar yang minimal yang harus dimiliki oleh seseorang di dalam rukun Iman tadi.

Misalnya meyakini bahwasanya Allah yang memiliki Rububiyyah. Dia-lah yang Menciptakan misalnya, harus ada di dalam hati. Meyakini bahwasanya Allah adalah satu-satunya yang disembah, meyakini bahwasanya Allah itu ada, meyakini bahwasanya Allah memiliki nama-nama dan juga sifat (itu harus ada). Bukan berarti mereka melakukan shalat kemudian mereka tidak ada rukun Iman dalam hatinya, tidak. Rukun enam yang merupakan pondasi ada di dalam hatinya. Cuma yang lebih dari itu, kadar yang lebih dari hanya sekedar kadar yang minimal ini belum mereka miliki, belum masuk keimanan di dalam hati mereka.

وَلَمَّا یَدۡخُلِ ٱلۡإِیمَـٰنُ فِی قُلُوبِكُم

Kalau itu sudah membaik, kadar yang tambahan itu masuk sedikit demi sedikit di dalam diri mereka, barulah mereka naik tingkatannya menjadi seorang yang Mukmin.

Berarti setiap Mukmin adalah Muslim, karena dia sudah melewati tingkatan Islam, jelas, amalan dhohir dia sudah terus dia jaga dan keimanan terus dia pupuk sehingga masuklah dan bertambahlah keimanan di dalam hatinya.
Dan amalan yang dhohir terus dia jaga, akhirnya dia mendapatkan predikat Islam dan juga predikat Iman. Berarti dia Muslim sekaligus Mukmin.

Tapi tidak semua orang yang Muslim (dia menyerahkan diri dengan dhohirnya) dinamakan sebagai seorang yang beriman. Belum masuk ke dalam hatinya iman yang merupakan kadar iman yang tambahan, bukan hanya sekedar kadar minimal.
Berarti – كلَّ مؤمنٍ مسلمٌ وليسَ كلُّ مسلمٍ مؤمنًا -.

Kalau misalnya terus dia istiqomah di dalam melakukan amalan yang dhohir, melakukan amalan yang bathin terus belajar dan terus belajar, kemudian mengenal tentang muroqobatullah (mengenal lebih dalam tentang Allah), akhirnya amalan-amalan dhohir tadi dia kerjakan dengan baik, merasa diawasi oleh Allah, amalan-amalan bathin juga demikian, dia merasa diawasi oleh Allah, semakin baik tawakalnya, semakin baik mahabbahnya, semakin baik Roja’ dan juga Khauf-nya, sehingga mencapai puncak kebaikan, maka dia akan berpindah kepada tingkatan yang terakhir yang paling tinggi, yaitu tingkatan Ihsan.

Menunjukan bahwasanya setiap orang yang Muhsin pasti dia Muslim dan pasti dia Mukmin. Tapi tidak setiap orang yang Muslim dia Muhsin, Tidak setiap orang yang beriman Muhsin.

كل محسن مؤمن، وليس كل مؤمن محسناً

Kemudian beliau mengatakan,

وكل مرتبة لها أركان

“Dan masing-masing dari tingkatan ini dia memiliki rukun-rukun.”

Dan yang dimaksud dengan rukun adalah:

الجزء الأقوى من الشيء

Bagian yang paling kuat dari sesuatu.

Jadi kalau misalnya Islam, rukun Islam yang 5 ini bagian yang paling kuat dari rukun Islam. Ini harus ada.
Rukun Iman maka dia memiliki 6, ini adalah juz/bagian yang paling kuat dari sesuatu.
Kalau Ihsan maka dia memiliki satu bagian.

Jadi masing-masing tingkatan ini memiliki arkan. Dia adalah Juz yang paling kuat (bagian yang paling kuat). Kalau sampai tidak ada, batal keislamannya atau batal keimanannya atau batal Ihsan-nya. Dia harus ada di dalam setiap martabat tadi.

Kemudian beliau mengatakan,
– فأركان الإسلام خمسة –

“Maka arkanul Islam (rukun Islam) jumlahnya ada 5.”

Di sini disebutkan,

– ودليل من السنة – dalilnya bahwasanya rukun Islam ada 5 dari sunnah, yaitu dari hadits (maksudnya adalah hadits Ibnu Umar).

Bahwasanya Rasulullah ﷺ,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ

Islam itu dibangun di atas 5 perkara. Ucapan beliau dibangun di atas 5 perkara menunjukan bahwasannya 5 perkara ini adalah pekara yang paling penting di dalam Islam, sehingga Islam yang di dalamnya banyak sekali perkara itu bisa tegak (bisa terbangun) menjadi sebuah bangunan di atas 5 perkara. Berarti 5 perkara ini adalah perkara yang paling penting di dalam agama Islam. Tanpanya, maka bisa batal seseorang keislamannya.

بُنِيَ الإسلامُ على خمسٍ شَهادةِ أن لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وأنَّ محمَّدًا رسولُ اللَّهِ وإقامِ الصَّلاةِ وإيتاءِ الزَّكاةِ وصَومِ رمضانَ وحجِّ البيتِ

Islam dibangun di atas 5 perkara:
Bersyahadat – أن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، – dan mendirikan shalat, dan membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.

Hadits ini dibawakan oleh Bukhari dan Muslim dan dibawakan oleh Al Imam An-Nawawi di dalam Arba’in An Nawawiyah, hadits yang ke-3.

Kemudian beliau mengatakan,

ودليل قوله تعالى
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
وقول تعالى
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sesungguhnya Agama di sisi Allah (maksudnya adalah agama yang benar di sisi Allah).”

Jika di sisi manusia mungkin dia mengatakan orang Nashrani mengatakan agama mereka yang benar, orang Yahudi mengatakan agama mereka yang benar.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَىٰ عَلَىٰ شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَىٰ لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَىٰ شَيْءٍ

Masing-masing dari mereka menganggap agama mereka yang benar, sebagaimana orang-orang musyrikin masing-masing menyembah sesembahannya. Ada yang menyembah orang sholeh, ada yang menyembah bintang, ada yang menyembah matahari, dst.

كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَیۡهِمۡ فَرِحُونَ

۞ …. وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ
۞ مِنَ ٱلَّذِینَ فَرَّقُوا۟ دِینَهُمۡ وَكَانُوا۟ شِیَعࣰاۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَیۡهِمۡ فَرِحُونَ
[Surat Ar-Rum 31, 32]

“Masing-masing dari kelompok orang musyrikin, mereka bangga dengan sesembahanya.”

Dan menyalahkan seorang yang menyembah selain sesembahannya.
Orang yang menyembah matahari menyalahkan orang yang menyembah bulan, orang yang menyembah bulan menyalahkan orang yang menyembah bintang, dst.

Tapi kalau di sisi Allah maka yang benar adalah agama Islam. Kalau antum ingin menerjemahkan, sesungguhnya agama yang benar. Jangan menerjemahkan sesungguhnya agama yang paling benar. Kalau paling benar maka agama yang lain benar, tapi Islam yang paling benar. Makanya terjemah yang shahih mengatakan yang benar. Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Adapun selainnya maka agama yang salah.
Benar bukan di sisi Allah tapi di sisi pengikutnya/ di sisi penganutnya.

Kalau di sisi Allah – رب السموات والارض – yang إليه المصير، (semuanya akan kembali kepada Allah) , orang yang beriman kepada Allah dan yang beriman kepada hari Akhir maka harusnya dia mencari agama yang benar di sisi Allah bukan benar di sisi manusia.

Kemudian beliau mengatakan,
وقول تعالى
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ
[QS Ali ‘Imran 85]

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Orang yang memang takut kepada Allah dan dia percaya kepada hari akhir maka harusnya dia mencari agama Islam. Barangsiapa yang mencari selain agama Islam maka Allah tidak akan menerima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. Datang di hari kiamat setelah dia capai di dunia setelah menyangka itulah yang diterima/ itulah yang membawa keselamatan bagi dia di akhirat ternyata dia datang di hari kiamat dalam keadaan amalan yang dia lakukan di dunia tidak diterima disisi Allah.

Ini adalah kabar yang sangat mengerikan, ketika dia mengetahui di akhirat ternyata amalan yang selama ini dia lakukan adalah amalan yang tidak diterima. Kalau tidak diterima dan batal seluruh amalannya, apa yang dia jadikan sebab untuk bisa memasuki surganya Allah Azza wa Jalla? Karena dia mencari agama selain agama Islam berarti dia bukan seorang muslim dan tidak diterima amalannya.
Maka tentunya orang yang demikian akhir dari kehidupannya adalah siksaan dan juga kesengsaraan.

Jadi 2 dalil ini, beliau ingin menegaskan tentang makna Islam yang secara umum, dia adalah agama para Nabi dan juga para Rasul yang itulah yang benar di sisi Allah dan itulah yang diterima di sisi Allah Azza wa Jalla.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url